Universitas Harapan Bangsa
UHB News

UHB News


Dukacita adalah emosi atau perasaan subjektif yang merupakan respon normal terhadap pengalaman kehilangan

Information

Date25 February 2017 3:39 pm
ByAdmin
Views5356




Kesehatan

Berduka, Normalkah?

Date25 February 2017 3:39 pm
ByAdmin
Views5356

Berduka, Normalkah?
Oleh : Ririn Isma Sundari, Ners M.Kep *)

Dukacita adalah emosi atau perasaan subjektif yang merupakan respon normal terhadap pengalaman kehilangan. Proses tersebut biasa kita kenal dengan istilah berduka. Berduka ini tidak hanya melibatkan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dikatakan oleh seseorang, tetapi juga proses bagaimana orang yang mengalami kehilangan berpikir, merasakan dan bertindak.

Berduka ini pernah dirasakan oleh semua orang dan merupakan hal yang wajar terjadi menyertai proses kehilangan. Banyak objek kehilangan yang dapat menyebabkan seseorang berduka. Hal-hal berikut dapat menyebabkan seseorang berduka. Pertama kehilangan aspek fisik. Kehilangan aspek ini seperti kehilangan anggota tubuh karena amputasi, menurun atau hilangnya fungsi anggota tubuh karena kecacatan, dan sejenisnya. 

Kedua, Kehilangan aspek keselamatan, misalnya terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan umum lainnya. Ketiga, kehilangan aspek keamanan dan rasa memiliki. Kehilangan aspek ini merupakan kehilangan yang paling sering dialami oleh individu. Misalnya, kehilangan orangyang dicintai karena kematian ataupun perceraian. Keempat, kehilangan aspek harga diri. Kehilangan ini terjadi karena berubahnya cara menghargai individu dalam pekerjaan dan perubahan hubungan. Dan kelima aspek aktualisasi diri. Kehilanagn ini terjadi ketika seseorang menemui hambatan upaya pencapaian tujuan.  

Ketika mengalami kehilangan, seseorang akan mengalami serangkaian tahapan berduka. Tahapan berduka dimulai dengan tahap penyangkalan (denial). Saat mengalami kehilangan, respon pertama yang dialami adalah syok, merasa tidak percaya jika hal itu terjadi. Tahap kedua adalah marah (anger). Pada tahap ini, seseorang yang mengalami kehilangan seringkali menyalahkan faktor di luar dirinya, seperti marah pada Tuhan, keluarga, dan teman. Selanjutnya orang tersebut akan melakukan tawar-menawar (bergaining). Tawar menawar yang dimaksud yaitu seseorang yang mengalami kehilanagn akan berandai-andai di dalam hatinya, andai diberikan waktu yang lebih panjang maka dia akan melakukan ini dan itu sebagai upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat dihindari. Ketika fase tawar menawar selesai, maka tahap selanjutnya adalah tahap depresi.

Pada tahap ini kesadaran seseorang akan kehilangan akan menjadi akut, sangat berat dirasakan dan begitu nyata. Tahap ini biasanya ditandai dengan menangis, perasaan tidak berdaya, dan keputusasaan. Seseorang yang berada dalam tahap ini juga seringkali mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tubuh, seperti kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, bahkan penurunan status kesehatan tubuh. Keberhasilan seseorang melalui tahap depresi ini akan menjadi kunci keberhasilannya dalam melalui proses berduka secara keseluruhan. Jika orang tersebut berhasil melaluinya dengan baik, maka tahap terakhir dari proses berduka adalah penerimaan (acceptance).  

Meskipun berduka merupakan proses normal dialami oleh setiap orang yang mengalami kehilangan (berduka antisipatori), namun berduka juga dapat menjadi kondisi yang patologis/tidak normal (berduka disfungsional). Berduka disfungsional ditandai dengan menyalahkan diri sendiri, tidak percaya pada oranglain, masalah dalam menjalin hubungan baik dengan oranglain, perasaan kosong, merasa tidak sejahtera, ketidakberdayaan yang menetap, penurunan kemampuan menjalankan peran, penyangkalan yang menetap akan kejadian kehilangan, depresi yang menetap bahkan merasa linglung. 

Untuk mencegah terjadinya berduka disfungsional saat mengalami kehilanagn, dibutuhkan sumber koping (sumber penyelesaian masalah) yang baik. Salah satu sumber koping yang sangat berkontribusi adalah dukungan sosial dari orang-orang terdekat. Dengan memahami tahapan proses berduka yang telah dipaparkan di atas diharapakan paling tidak kita memahami jika teman atau saudara kita sedang ada dalam tahapan menyangkal atau marah. Karena terkadang seseorang yang berduka dianggap berlebihan ketika menyangkal atau marah. 

Dengan memahami jika hal tersebut adalah tahapan yang normal, maka kita tidak ikut menyalahkan atau memandang sebelah mata teman atau saudara kita yang sedang berduka. Selain itu juga ada kalanya kita harus memberikan ruang dan waktu bagi mereka untuk mengekspresikan penyangkalan dan perasaan marahnya. Tetap mendampingi mereka pada tahap depresi juga sangat dibutuhkan untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasarnya. Selain itu, kita juga dapat membantu meluruskan jika terdapat pikiran negatif berupa menyalahkan diri sendiri sebagai dampak dari depresi yang berlanjut. Salam sehat jiwa.

*) Dosen SHB Purwokerto
 


Prev/Next News




© 2024 - www.uhb.ac.id Universitas Harapan Bangsa - Kerjasama dengan Radar Banyumas.
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang

Menu